Lintas Dimensi Kabut Gunung Adeng (Pura Pucak Adeng)



18 Agustus 2018. Aku terbangun dari tempat tidurku dan waktu sudah pukul 8 pagi. Masih mengingat kejadian kemarin saat aku pulang dari Gn. Catur. Begitu banyak suka duka yang aku dapatkan saat mendaki kemarin bersama angkatan 40 Trisma. Aku mulai mengambil ponsel yang semalam aku charge dan melihat beberapa pesan dari teman-teman yang mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah kulakukan kemarin. Setelah membaca pesan pesan tersebut, saya ingat bahwa ada yang membuat saya kesal kemarin. Akhirnya suasana kembali kalut.


Malam itu, Joni (teman 1 SMA) akrab disapa Jon berkeinginan untuk menuntaskan 10 Summit Bali yang telah kita lakukan dari awal tahun 2018 dan mebicarakan rencana pendakian Gunung Adeng. Disaat itu saya pun setuju dan segera mengajak beberapa teman diantaranya ada Fawzzy dan Turah. Fawzy mengajak 4 orang temannya yang bernama Bunga, Cahyo, Silvia dan Joni mengajak 1 temannya bernama Caesar. Pendakian ini akan dilaksanakan pada Minggu, 25 Agustus 2018.

Di sela mempersiapkan keberangkatan menuju Gn. Adeng. Risma, anak dari pendiri komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan bertanya agenda saya hari esok karena dia juga kebetulan ada tugas untuk mengumpulkan video bertema tentang alam. Tanpa sedikit ragu, akhirnya kuajaklah dia ikut kesana.

Detik demi detik berputar tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi dan kami mulai berangkat dari titik kumpul (Sman 3 Denpasar) menuju ke Tabanan. Peserta yang berangkat 10 orang termasuk saya sendiri. Semua sangat antusias menapaki puncak gunung ini. Tidak terduga, ditengah tengah pedalaman Tabanan ban motor joni bocor. Demi mempersingkat waktu kami bagi menjadi 2 tim untuk mencarikannya bengkel terdekat. Sambil menunggu jon kembali dari bengkel kami pun kenalan di sebuah warung yang tutup saat itu sambil menikmati roti yang sudah dibeli sebelum keberangkatan. 

Setelah tiba di desa terakhir dan jalan aspal sudah habis, kami melewati jalur motor setapak terlihat disana mayoritasnya menggunakan motor zaman kuno. sepertinya saat itu kami tidak melihat satupun motor matic, hanya kami yang menggunakan motor canggih tersebut. Disana warga nya masih menekankan adat bali yang kental. warga yang berbelanja dan pergi ke kebun masih menggunakan kamen. kebetulan sebelum jalan menanjak ada sebuah banjar atau sejenisnya gitu dan disana ramai penduduk lokal seperti sedang merapatkan sesuatu didalamnya. Ketika kami melewati mereka pandangan mereka begitu aneh dan sepertinya menyuruh kita untuk kembali pulang pada hari itu. Namun, tatapan mereka berubah setelah saya menyapa mereka dengan senyuman. Ditanjakan kami juga menemukan truk yang sedang menurunkan pasir disana. Karena jalan setapak hanya muat untuk 1 mobil saja, kami tidak bisa lewat dan menunggu dibelakang truk tersebut sambil bercerita tentang rencana pendakian sekaligus tangkil menuju Pucak Adeng.

TIBA DI START POINT.

Tidak ada satupun orang disini, hanya menara pemancar yang menyapa kami disana beserta sebuah gubuk kosong tak terawat. Kami pun mulai perjalanan kami. Awalnya jalur berupa anak tangga yang dipenuhi oleh lumut yang sangat licin. sampai di pelinggih pertama kami menghaturkan canang dan kembali melanjutkan perjalanan suasana disini sangat terasa magis. karena perjalanan dimulai siang hari jadinya kurang terasa aura magisnya. sampai di wantilan pura. terlihat banyak sekali sampah disini yang membuktikan bahwa tempat ini kurang dirawat oleh warga. dimana disana ada percabangan jika kita lurus kita akan menuju Pura Beji yang katanya disana ada mata air alami yang berasal dari gunung tersebut dan melihat jalur lava gunung adeng kita gunung ini masih aktif dahulu kala. sedangkan belok kanan (menaiki tangga lagi) itu adalah Pura Pucak Adeng. Kami disambut dengan 2 gapura megah yang ada tepat didepan pura. kami pun melantunkan Puja Tri Sandya disana. hanya fawzy yang duduk terdiam di wantilan pura karena dia beragama kristen.

Pict by : fawzy

Setelah sembahyang, kami digerogoti monyet-monyet yang ada di Pura Pucak Adeng. mereka menghamburkan semua canang yang sudah kita haturkan dan tiba tiba turun dari gunung. Ada satu Monyet yang terlihat seperti ketua kawanan dari para monyet tadi masih diam tak bergerak tepat didepanku sambil menatapku. Aku agak ketakutan karena dulu sempat diserang oleh monyet di Pura Lempuyang. Hingga akhirnya semua berubah menjadi tawa ketika teman-teman malah membuat lelucon tentang monyet itu. hingga kami siap melanjutkan perjalanan monyet itu tetap menatapku seperti ingin memberikan petunjuk untukku. hingga akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan menuju anak tangga selanjutnya. Ketika sampai di Pelinggih selanjutnya sebelum menuju jalan setapak kami sembahyang lagi dan gerombolan monyet tadi datang dan lagi lagi Monyet yang terlihat besar itu menatapku dari atas pohon dan menghampiriku lalu mereka pergi menuruni gunung. 


Perjalanan dimulai, kabut tipis-tipis sudah mulai menghiasi jalur. teman-teman yang baru pertama kali saya ajak mendaki sudah mulai ngos ngosan baru setengah perjalanan. Jalur pendakian disini terlihat bersih yang kotor hanya ada di bagian pura karena pemedek yang tangkil biasa tidak mau menjaga kelestarian pura yang kental dengan budaya kunonya ini. Kiri kanan jalur penuh dengan hutan yang rapat sampai tidak ada cahaya matahari yang masuk sama sekali di jalur pendakian membuat pendakian ini semakin seru. tepat pukul 12 siang kami sudah berada di areal puncak namun belum juga menemukan tulisan plakat Mt.Adeng seperti foto pada bagian awal blog. akhirnya pukul 12.15 kami sampai di plakat tersebut dan melakukan persembahyangan. setelah sembahyang kami membuka kompor dan melaksanakan  makan bersama. dan tidak lupa mengabadikan foto. Di puncak ini tidak ada pemandangan sama sekali, hanya hutan lebat diantara puncak tersebut. pokoknya asik deh dipakai ngobrol di tempat ini.


setelah makan bersama kami ngobrol bareng layaknya keluarga sampai lupa kalau waktu sudah menunjukan pukul 3 sore. kami pun bergegas turun gunung dan tidak lupa memunguti sampah yang berserakan di puncak. Saya sebagai leader masih hafal betul jalur nya dan tidak ada percabangan sama sekali di gunung ini. ketika turun entah kenapa jarak saya dengan yang lainnya terpisah sungguh jauh apa karena aku yang terlalu buru buru atau mereka yang lambat. pada saat aku terpisah kabt yang mulanya sempat hilang kembali menemani kami lagi. akhirnya kami terus berjalan dan berjalan sampai tiba saat aku menemukan sebuah tempat yang tidak pernah kutemui saat naik tadi. tempat dimana dikiri kanannya bukanlah hutan lebat melainkan tanah gersang yang tandus disertai dengan tanaman tua yang sudah rapuk yang sekali dipegang bisa patah. aku berhenti disana dan memanggil jon yang berada di bagian paling belakang menanyakan soal jalur "Jonn, jalurnya masih aman kah?" tanyaku sambil berteriak. kemudian dia bilang aman aman saja dan sambil menunggu yang lainnya aku berhenti ditempat itu. Suasana tiba tiba mencekam dan kembali hilang setelah satu persatu teman terkumpul di tempat itu. Aku dan Jon masih menyibukkan tentang jalur treking yang berubah drastis ini. sambil jalan aku melihat kekiri dan kekanan dan hasilnya jalur semula nihil. akhirnya aku mencoba untuk menyisir jalur ke arah kiri (timur) sendirian dan hasilnya adalah jurang kemudian kita memutuskan untuk berjalan turun terus sambil melipir kekanan. Kabut semakin pekat rasa takut yang kualami melebihi rasa takutku saat diganggu di Pura Penataran Agung Pucak Mangu. Tebalnya kabut membuat kami lebih sulit untuk menuruni jalur tersebut, jika dihitung sudah lebih dari 5 kali kami menuruni jurang dan berpuluh puluh kali kami terjatuh dikarenakan tanahnya yang sangat mudah longsor beserta pepohonan apabila dipegang malah patah dan salah satu patahan pohon tersebut sempat mengenai kepalaku.


Emosi. itulah yang keluar dari pikiranku dan Caesar. karena ia akan pergi ke undangan bersama pacarnya setelah turun dari gunung ini. Fawzy, Joni, dan Bunga masih berjalan santai dibelakang. Setelah sekian lama kesasar waktu sudah menunjukan pukul 5 sore disertai kabut yang tebal, kami sudah mulai panik karena diantara kami tidak ada yang membawa senter dan persediaan air sudah terbatas. Sudah tidak memungkinkan jika kita bermalaman ditengah jurang yang kondisinya parah seperti ini. Hingga setengah 6 sore menjelang sandi kala (jam sakralnya bagi umat hindu) kami belum menemukan titik terang sampai banyak sekali kata kata kasar keluar dari mulutku. semakin banyak aku mengeluarkan kata kasar semakin dalam jurang yang aku lewati. Akhirnya di jurang terakhir dengan ketinggian jurang sekitar 30 meter dengan kemiringan hampir mencapai 75 derajat kami mengurungkan niat kami untuk menuruni jurang tersebut dan Caesar sudah seperempat jalan menuruni jurang. Apabila dia sudah sampai setengah jalan bisa saja kita kehilangannya karena jurang tersebut tidak masuk akal untuk dituruni. tiba tiba saat saya menghentikan langkah saya mendengar suara seseorang berlari, sontak saya membalikkan badan dan melihat Fawzy berlari layaknya atlet kearah barat memotong satu lembah dan meloncati pohon tumbang. Saya mengejarnya dan berhenti di pohon besar yang tumbang itu. lalu ia berteriak "We, jalurnya disini". sontak ku kaget dengan temuan orang ini dan setelah tiba disana saya menghaturkan puji syukur karena penunggu gunung berhasil membebaskan saya dari tempat itu. Aku yakin kami diculik oleh penunggu disana dan kurang tau apa penyebab kita bisa dibawa oleh mereka. ada banyak kejanggalan setelah kabut pekat itu datang. Ketika kami kembali ke jalur semula tiba tiba kabut yang awalnya sungguh tebal mulai menipis. Sampai pura saya tidak bisa berkata-kata hanya diam mematung sambil berjalan menuruni gunung. Ketika jalur ketemu itu juga saya berikan isyarat ke Fawzy agar dia yang menjadi leader dan saya menjadi sweeper. Sambil berjalan aku selalu melihat ke belakang karena seperti ada yang mengikutiku namun tidak ada sama sekali. Sampai di pura juga kami hanya sebentar saja dan langsung turun karena hari mulai gelap. sampai di Pura Pucak Adeng saya sangat memohon maaf atas kesalahan yang sudah saya perbuat selama hari itu. Setelah itu berfoto di depan gapura cantik pura untuk mengabadikan momen yang agak hmmmm....

Tidak ada satupun monyet monyet yang mengerumuni kami tadi disini. saya berjalan turun cukup lambat sambil melihat kiri kanan seperti ada yang memperhatikan saya entah apa itu. Akhirnya saya tiba dibawah dan teman teman sudah menunggu saya disana. Akhirnya kami pun pulang :)

Ketika sampai dirumah masing masing akhirnya Fawzy menceritakan kejanggalan yang ia dapati hari itu. Pada saat kami sembahyang ia melihat bahwa monyet tua yang sedang menatapku itu adalah sosok kakek tua yang dipikirnya pemangku disana. namun setelah berpaling ia melihat sosok tua tersebut menyerupai monyet, disana ia sudah mulai takut tapi ia tidak mau bercerita karena tidak ingin merusak antusias kami semua yang ingin berkunjung ke puncak tersebut. Waktu tersesat dan berlari ia melihat sesosok kakek tua tadi melambaikan tangan kearahnya sontak ia berlari kesana dan menemukan jalurnya. Saat ia memberitahukan yang sebenarnya ia lihat, saya tidak merespon di obrolan tersebut karena suasana hati saya masih takut, saya merasakan masih berada pada tempat itu. Hingga akhirnya saya pun tertidur.

Pesan singkat dari cerita diatas : sekecil apapun treknya dan sehebat apapun kamu. Jika sikapmu tidak baik maka pulanglah! banyak aturan adat yang harus kamu taati saat berkunjung di tempat tempat sakral seperti Pura diatas. 


Akhir kata saya ucapkan terimakasih.

SALAM HIJAU

Komentar